Kamis, 19 Maret 2015

Hujan

Karena hujan tak pernah lelah mengusik hati yang sedang kosong.

Butiran dari langit itu selalu  turun dengan ringannya. Seolah tak peduli dengan apa-apa saja yang dirasakan oleh makhluk di bumi. Baginya hanya satu. Diperintah turun maka meluncurlah tanpa beban. Menyambut gaya gravitasi. Berjumpa kembali dengan remah-remah bumi.

Malam ini seorang anak manusia cukup tergugah dengan hujan. Hawa dingin menembus kulit. Mengundang segala syaraf mengenang beberapa memori yang terjadi.

Karena bukan rindu yang dia rasakan. Layaknya seperti jiwa-jiwa lain saat menyambut hujan. Yang ada justru kosong. Hanya pertanyaan yang tersisa. Kenapa?

Kenapa harus berjumpa kalau semua berujung pada perpisahan?

Sang hujan pun diam tak berani sekalipun menyela. Tugasnya hanya turun. Pun sebenarnya anak itu tak pernah butuh jawaban.

Hanya guntur yang cukup ramah menemani anak itu. Setidaknya menenggelamkan gerutuannya agar langit tak mendengar sesuatu yang jauh lebih gila.

Kamis, 05 Maret 2015

Mungkin aku terlalu banyak bermaksiat sehingga doa-doa yang kukirimkan tak bisa menenangkan dirimu

Minggu, 01 Maret 2015

Aurora's Escapist

Aurora's escapist adalah nickname saya di aplikasi chat mXit. Aplikasi yang booming sekitar tahun 2007 an. Aurora sendiri diambil dari seorang dewi di mitologi Romawi. Kalo dalam mitologi Yunani lebih dikenal dengan Dewi Eos, Dewi Fajar. Kenapa saya memilih nama itu? Gak tau juga, bagus seperti fajar yang menyiratkan harapan dan kesempatan baru.Belakangan ini saya baru tahu kalau nama Fatma di belakang nama saya dimaksudkan juga untuk bermakna bersinar. Sebenarnya awalnya saya tertarik dengan kisah sendu bahwa dia memiliki kekasih yang mati sedang dia abadi. Walaupun demikian tetap bertugas untuk menerangi bumi dengan sinar dari tudungnya. Tapi ketika dikonfirmasi ternyata itu kisah dari dewi Selene, dewi Bulan. Fail?? Iya. 

Escapist sendiri artinya orang yang melarikan diri a.k.a kabur. Pada saat itu saya sedang ada masalah dengan kakak saya. Sehingga aplikasi chat itu juga bisa disebut ajang pelarian buat saya. Baru saja tadi ada teman yang menjuluki saya sebagai seorang yang mudah menyerah dan melarikan diri. Pendapat saya? Iya dia benar.

Untuk urusan hati saya sudah gak mau coba-coba lagi. Sekali aja kapok hahai. Maka saya benar-benar mau melarikan diri. Sejenak tak melihat wujudnya. Beberapa hari saja. Aturan pertama melarikan diri adalah larikan dirimu pada tempat yang tepat. Dan aku memilih rumah. Karena di sana setiap jengkal kebahagiaan berada. 

Sebelum pulang, saya mengetuk sebuah kaca. Dan yang kuketuk mengangkat tangannya. Saya hanya tersenyum sembari membatin "Hai aku ingin sembuh darimu". Tak tahukah dia kalau sebenarnya saya tertekan luar biasa atas perasaan ini. Dan cukup tidak lagi.

Apa yang membuat rumah menjadi tempat yang tepat. Ya karena setiap jengkal di sana merupakan kebahagiaan. Karena di sana selalu tersedia orang yang sudah bersusah payah membahagiakanmu sedari kecil. Tak usahlah bercerita tentang pundak yang menggendongmu tinggi-tinggi. Atau tangan ramah ibu yang selalu meraba dahi saat dirasa suhu tubuhmu meningkat saat bersalaman. Atau kakak yang tak banyak bicara namun kalau urusan adiknya sigapnya luar biasa. Atau si adik yang kerjanya mengeluh saja tapi selalu bahagia kala kau bilang esok akan di sana.Karena setiap jengkalnya berisi kebahagiaan.

Karena masih belum berbeda. Mungkin aku harus berbicara tentang seorang yang setengah baya. Berusaha menyenangkan anak perempuaanya. Mengangkut teman-temannya mengantar meski  larut sudah tiba. Dengan tenang tanpa menaruh lelah berusaha baik-baik saja. Karena bukan sekilo dua kilo jarak rumah satu yang lainnya namun belasan kilo dan sepertiga akhir malam sudah tiba.Yakinku saat itu lelahnya sudah luar biasa.

Atau tentang seorang kakak laki-laki yang rela meninggalkan sarangnya. Demi mengantar ke sana sini. Memasang badan ketika pemuda lain mendekati. Dia masih yang terbaik. Apapun keadaannya. Merasa aman di balik punggunnya di atas roda dua. Baik dari angin maupun hal lainnya. Atau salam perjumpaan mengusap rambut wajib baginya seperti sapaan hai, baik saja kan. Dan kubalas senyum. Atau ketika perpisahan, sabar dia menunggu hanya agar aku mendekati dan menyambut tangannya sembari berkata hati-hati. Dia alasan keduaku memutuskan pulang.

Mungkin Ibu dan Adikku akan kuumbar di lain cerita. Ini edisi beberapa laki-laki yang sudah Allah kirimkan untuk mencoba membahagiakanku.

Satu lagi. Seorang yang rela bangun di dini hari untuk menjemput lima belas kilometer di stasiun. Walau sudah dibilang tak papa. Aku disuruh diam menunggu saja. Perwakilan Bapak di sini. Masih terbayang kekawatiran pertama kali menunjukkan jalan ke kantor. Berdebat dengan kakaknya. Memintaku kos saja. Tak tega melihatku menempuh jalanan kota. Tiap kali bertanya capek tidak. Dan aku berusaha baik saja. Mata memendar lugu mulut menyungging senyum. Sudah terbiasa. Tak apa. 

Karena ketika teringat mereka. Maka aku bisa dengan congaknya berkata. Kau bukan apa-apa dibanding mereka. Senyum manis yang kau lemparkan untukku tak pernah bisa menandingi pahit peluh mereka yang bersusah payah menjagaku. 

Iya aku memilih tempat yang tepat untuk mengobati virus yang menjalar itu. Di rumah aku sadar banyak orang yang belum kubahagiakan. Dan untukmu aku hanya bisa memberi sebuah kursi pertemanan.